“Pekerja yang paling tidak mudah menyerah adalah petani.” Celetuk salah seorang sahabat. “Ko bisa pak?” tanya saya. “Coba lihat saja mas, apakah setiap petani gagal panen kemudian mereka berhenti bertanam. Tidak kan? Setiap gagal panen padi, mereka pasti terus menanam lagi. Ga berhenti dan ga kapok.” Ujarnya.
Diskusi saya waktu itu menjadi salah satu perbincangan menarik. Mengapa? Karena diskusi itu terjadi saat wabah wereng menghancurkan ribuan sawah di Jawa tengah, termasuk sebagian daerah saya. Saat mendengar ungkapan sahabat itu, justru fikiran saya berkata sebaliknya. Benarkah kalau gagal, kemudian menanam lagi berarti tidak mudah menyerah?
Terbersit, jika gagal panen kemudian mengulangi menanam dengan cara dan pola tanam yang sama, kemudian gagal. Selanjutnya mengulangi hal tersebut berulang kali, sementara seharusnya pola tanam harus diubah, itu artinya bukan tidak mudah menyerah tetapi terjatuh ke lubang yang sama. Memang kondisi ini riil terjadi. Petani di beberapa wilayah Jawa Tengah sudah beberapa kali musim tanam 2009 - 2010 gagal panen karena serangan wereng. Tragisnya setelah serangan wereng hilang, ganti virus kerdil rumput menghajar. Kontan padi mereka hanya gemuk tak bermalai.
Saran untuk mengganti pola tanam dengan palawija tentu sudah sering disampaikan, namun pola padi-padi-padi masih menjadi favorit. Gagal tanam ini, hancur kena wereng, siap-siap tanam padi lagi. Hancur lagi, tanam padi lagi, hancur lagi, tanam padi lagi. Begitu terus hingga kurang lebih 7 musim. Baru musim terakhir kemaren sebagian petani mulai beralih ke palawija.
Sangat mengganjal, kenapa petani enggan berubah sementara jelas pola dan system tanam yang dilakukannya terbukti gagal. Tentu banyak faktor yang mendasarinya. Namun penyebab terbesarnya masih pada masalah social dan system yang berlaku di wilayah tersebut: 1. Kebiasaan yang telah turun-temurun, 2. budidaya padi yang mudah, 3. sebagai cadangan ketika hajatan tetangga, hingga 4. ketersediaan air melimpah masih menjadi penyebab.
Pola tradisional yang masih dipegang menjadi salah satu hambatan untuk menerima budaya dan teknologi baru. Ditambah sebagian besar petani adalah kaum tua. Memegang teguh prinsip luhur dan budaya arif yang dekat dengan alam tentu indah dipegang. Namun petani adalah seorang entrepreneur. Dan entrepreneur harus selalu membuka mata terhadap teknologi dan perkembangan baru. Mau menerima masukan baru.
Pernyataan sahabat saya tersebut tentu menjadi pelajaran. Tak mudah menyerah, tekun dan ulet adalah sifat dasar seorang entrepreneur. Dan petani sudah memiliki modal besar ini. Bahkan sebagian besar petani. Ini patut kita contoh. Namun mengapa mayoritas petani tidak beranjak maju? Dan terus dianggap sebagai petani “gurem”? Hanya segelintir petani yang menjadi sukses dan kaya (parameter materi) dari bertani? mungkin salah satu penyebabnya karena terlalu teguh memegang tradisi.
Tak mudah menyerah, tekun, ulet, membuka mata pada informasi dan teknologi, kreatif. Sifat ini harus terus kita tekankan dan tanamkan pada petani. Insyaallah profesi petani benar-benar menjadi profesi yang berkembang.
No comments:
Post a Comment