Mendefinisikan pangan yang telah rusak menjadi sangat menarik. Mengapa? karena definisi kerusakan pangan bisa menjadi subyektif tergantung dari jenis pangan tertentu, dan sosio kultural masyarakat dimana pangan tersebut dikonsumsi.
Semisal tempe, sebagian orang menyebut tempe yang telah busuk adalah makanan yang telah rusak, tetapi sebagian masyarakat justru menanti tempe yang busuk untuk diolah menjadi makanan yang lezat. Di daerah Jawa Timur misalnya, tempe busuk diolah menjadi sayur tumpang yang sangat lezat. Contoh yang lain adalah anggur, buah-buahan dan beberapa jenis makanan seperti keju. Subyektifitas yang lain adalah karena makanan yang dianggap telah rusak juga belum tentu berbahaya bagi kesehatan. Mungkin hanya nilai estetikanya yang berkurang. Estetikapun berbeda antar kelompok masyarakat. Artinya bagi sebagian kelompok masyarakat, sebuah makanan sudah dianggap rusak, namun bagi masyarakat lainnya makanan itu belum rusak. Lantas apa sebenarnya definisi kerusakan pangan?
Secara naluriah manusia dapat mengatakan bahwa pangan telah rusak dan tidak dapat dikonsumsi melalui rasa dan penampakan pangan. Meski pengetahuan manusia seringkali berperilaku sebaliknya, menentang naluri, dan justru menemukan jenis-jenis pangan baru. Semisal sejarah keju, meskipun sejarahnya simpang siur, ”Masyarakat prasejarah mulai meninggalkan gaya hidup nomaden dan beralih menjadi beternak kambing, domba maupun sapi. Karena kebersihan yang kurang, terkena sinar matahari secara langsung atau terkena panas dari api maka susu dalam bejana tersebut menjadi asam dan kental” (1) Rasa penasaran menimbulkan keinginan untuk mencoba, dan ternyata ditemukan makanan baru yang nikmat. Demikian halnya dengan bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya. Penemuan yang tak disengaja ini muncul sebagai awal pengembangan teknologi pembuatan produk tersebut.
Sebenarnya untuk menentukan kerusakan pangan, kita dapat melihat dari beberapa parameter berikut:
- Tekstur
- Nilai Gizi
- Bau
- Warna
- Rasa
Apabila telah terjadi perubahan pada beberapa parameter itu dapat disimpulkan telah terjadi perubahan pada dua hal: 1) Mutu produk pangan dan 2) Keamanan pangan. Mutu dapat diartikan secara sederhana sebagai ”Fitnes for Use” kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Pendapat yang dilontarkan oleh J.M Juran ini adalah pendapat yang paling mudah untuk dipahami. Sesuatu yang diharapkan oleh konsumen.
Produk yang telah mengalami perubahan tekstur, warna, rasa, bau, dan nilai gizi, biasanya telah mengalami penurunan mutu karena perubahan-perubahan tersebut berujung pada perbedaan antara harapan konsumen dengan produk yang ada. Konsumen mengharapakan produk yang berasa nikmat, tekstur yang lezat, warna yang menarik. Namun karena terjadi kerusakan, akhirnya parameter-parameter tersebut menjadi bergeser. Apabila perubahan mutu ini terjadi terus menerus, akan menyebabkan produk pangan menjadi berbahaya bagi manusia karena munculnya bahan-bahan berbahaya akibat kerusakan pangan.
Parameter-parameter diatas mempermudah kita untuk mendefinisikan kerusakan pangan. Kerusakan pangan dapat didefinisikan sebagai perubahan karakteristik fisik dan kimiawi suatu bahan makanan yang tidak diinginkan atau penyimpangan dari karakteristik normal. Karakteristik fisik meliputi sifat organoleptik seperti warna, bau, tekstur, bentuk. Sifat-sifat ini adalah sifat yang dapat dilihat atau diindera secara fisik. Sedangkan karakteristik kimiawi meliputi komponen-komponen penyusun bahan pangan seperti kadar air, lemak, protein, karbohidrat, vitamin, mineral, dan zat lainnya. Sebagian karakteristik kimiawi dapat dilihat secara fisik, seperti penurunan kadar air. Namun untuk mengetahui kandungan zat gizi lainnya diperlukan analisa laboratorium.
Pangan dapat rusak pada satu parameter, sedangkan tidak mengalami perubahan pada parameter lainnya. Oleh karena itu untuk menentukan tingkat kerusakan pangan, seseorang harus membandingkan kondisi awal (kontrol) dengan kondisi ketika diamati.
Salah satu jenis kerusakan pangan adalah adanya kebusukan. Proses kebusukan dapat berlangsung secara cepat ataupun lambat bergantung pada dua hal:
- Karakteristik bahan pangan yang bersangkutan.
- Kondisi penyimpanan.
Apabila kedua hal diatas dapat dimodifikasi, maka proses kebusukan makanan dapat diperlambat bahkan hingga bertahun-tahun.
Makanan yang telah mengalami kerusakan hingga mencapai kebusukan, memiliki ciri kerusakan pangan sebagai berikut:
- Irreversible, artinya tidak dapat dikembalikan. Pangan yang telah mengalami kerusakan tidak dapat dikembalikan ke bentuk semula. Proses yang terjadi adalah proses yang permanen. Sebagai contoh, jeruk yang telah membusuk, tidak dapat dikembalikan seperti jeruk yang segar.
- Perubahan nilai gizi
- Bau tidak sedap
- Perubahan bentuk
Perubahan yang terjadi cenderung menuju kearah yang merugikan. Hasil samping dari kebusukan adalah zat-zat yang berbahaya bagi manusia jika terpapar.
Secara umum, penyebab utama kerusakan pangan adalah :
- Aktivitas mikoorganisme
- Cahaya/sinar
- Enzim
- Waktu penyimpanan
- Hama
- Suhu, baik suhu tinggi maupun suhu rendah
- Air
- Udara, khususnya oksigen
Lain waktu mudah-mudahan saya bisa membahas tentang penyebab kerusakan pangan berdasar beberapa kategori.
(1) http://id.wikipedia.org/wiki/Keju#Sejarah
Bot Pranadi
No comments:
Post a Comment